Minggu, 30 Desember 2012
KU-TANGISI HARI-HARI-KU YANG SIA-SIA
Wajah saudariku memucat, tubuhnya mengering. Meskipun begitu, ia tetap selalu membaca al-Qur’an. Jika engkau mencarinya, ia akan senantiasa rukuk, sujud, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Begitulah yang selalu ia lakukan, baik di pagi hari, sore, bahkan tengah malam tanpa jemu. Sementara itu, aku lebih suka membaca majalah sastra dan buku cerita, atau menonton video. Kewajibanku terbengkalai, bahkan shalatku berantakan. Kendati video sudah kumatikan, tapi aku masih asyik menonton film selama tiga jam berturut-¬turut. Nah, kini adzan berkumandang di mushalla dekat rumahku. Aku kembali ke tempat tidur. Suara saudariku terdengar memanggilku dari mushalla.
“Ya, apa yang engkau inginkan, Naura?” kataku.
Dengan suara datar saudariku bilang, “Jangan dulu tidur sebelum shalat subuh.”
Oh, satu jam lagi baru shalat subuh, karena yang kudengar kali ini baru adzan pertama. Dengan suara yang lembut -begitulah kebiasaan saudariku, bahkan sebelum menderita penyakit ganas yang jatuh terbaring di ranjang- saudariku memanggilku, “Kemarilah, Hanna, duduklah di dekatku.”
Aku tidak kuasa menolak permintaannya. Engkau pun juga pasti begitu. Jika merasakan ketulusan dan kejernihannya, engkau akan tunduk memenuhi ke inginannya.
“Ada apa, Naura?” kataku.
“Duduklah!”
“Ini aku sudah duduk, ada apa?” desakku.
Dengan suara yang merdu dan welas asih saudariku membacakan ayat Al-Qur’an,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” (Ali ‘Imran: 185).
Sejenak ia terdiam. Setelah itu, ia bertanya kepadaku, “Bukankah engkau percaya pada kematian?”
“Ya, aku percaya,” jawabku.
“Bukankah engkau percaya kalau setiap amalmu kelak akan dihisab, baik yang kecil maupun yang besar?”
“Ya, tetapi Allah Maha Penyayang dan perjalanan masih panjang,” jawabku.
“Saudariku, apakah engkau tidak khawatir kematian datang secara tiba-tiba? Lihatlah Hindun lebih muda darimu, ia meninggal dunia karena kecelakaan. Lihatlah si ini dan ini. Kematian tidak mengenal usia.”
Dengan suara ketakutan, karena suasana gelap di mushalla, aku berkata, “Aku sudah takut pada kegelapan. Sekarang engkau menakut-nakutiku dengan kematian. Kalau begitu, bagaimana aku bisa tidur? Kukira engkau ingin memberitahuku bisa ikut pergi bersama kami di liburan ini.”
Tiba-tiba suara saudariku kertak-kertuk di teng gorokan. Hatiku begidik. Ia berkata, “Mungkin tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang berbeda. Bisa jadi begitu, Hanna. Usia itu di tangan Allah.”
Setelah berkata demikian, saudariku menangis. Aku mulai memikirkan penyakit ganas yang ia derita. Diam-diam dokter memberi tahu ayahku bahwa karena penyakit yang diderita, usia saudariku tidak lama lagi. Tetapi, siapa yang membocorkan hal itu pada saudariku? Ataukah dig sedang merasakan hal itu?
“Apa yang engkau pikirkan?” kata saudariku membuyarkan pikiranku. “Apakah engkau kira aku berkata begitu karena aku sakit? Tidak. Bisa jadi aku hidup lebih lama daripada orang yang sehat. Dan engkau sendiri sampai kapan akan hidup? Ketahuilah, Hanna, hidup itu hanya sementara. Kemudian apa? Tiap-tiap kita akan pergi meninggalkan dunia ini; ke surga atau neraka. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
”Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung” (Al Ilmran: 185).’”
“Engkau akan baik-baik saja,” kataku seraya berlari meninggalkannya. Perkataan saudariku terngiang-ngiang di telingaku.
“Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepadamu. Jangan lupa shalat yang delapan di pagi hari.”
Tidak lama setelah itu, aku mendengar pintu kamarku diketuk orang. Jelas ini bukan waktunya aku bangun tidur. Kudengar isak tangisan dan gemuruh suara banyak orang. Apa yang terjadi? Oh, ternyata keadaan Naura mem buruk, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, ternyata tahun ini tidak jadi berangkat jalan-jalan. Tahun ini aku ditakdirkan untuk tinggal di rumah. Jam satu siang, ayah datang dari rumah sakit.
“Engkau bisa menjenguknya sekarang, ayo cepat,” kata ayah kepadaku.
Menurut ibu, suara ayah mengisyaratkan kegun dahan. Suaranya berubah. Mantel telah di tangan, lalu di mana supir? Kami pun segera meluncur ke rumah sakit. Jalan yang kami telusuri bersama supir untuk jalan-jalan biasanya tampak pendek. Tetapi, hari ini tampak panjang, bahkan sangat panjang. Di manakah gerangan keru munan orang yang membuatku menoleh kanan-kiri? Di sampingku ibuku berdoa untuk saudariku.
“Dia anak yang saleh dan taat. Aku belum pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu,” kata ibuku lirih.
Memasuki pintu luar rumah sakit, kami menyaksikan pemandangan banyak pasien. Ada pasien yang mengerang- erang, ada korban kecelakaan, dan ada pula yang matanya cekung. Engkau barangkali tidak bisa membedakan, apakah mereka penghuni dunia atau akhirat. Sebuah pemandangan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Segera kami menelusuri anak tangga. Ternyata, saudariku dirawat di ruang ICU.
Seorang perawat menenangkan ibuku. Ia bilang keadaan saudariku membaik setelah sempat pingsan. Di rumah sakit itu tidak diperkenankan masuk ke ruang perawatan pasien lebih dari satu orang, apalagi ini ruang ICU. Di tengah kerumunan para dokter, melalui jendela kecil kulihat mata saudariku, Naura, melihatku. Adapun ibuku berdiri di sisinya. Dua menit kemudian, ibuku keluar karena tidak sanggup membendung air matanya. Mereka mengizinkanku masuk, asal tidak terlalu banyak berbicara dengan pasien. Dua menit sudah cukup.
“Apa kabar, Naura?” sapaku.
“Sore kemarin aku baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi padamu?
Setelah memagang tanganku, saudariku bilang, “Sekarang, alhamdulillah aku baik-baik saja.”
“Alhamdulillah, tapi mengapa tanganmu dingin?” kataku.
Aku duduk di pinggiran dipan sembari memegangi betis Naura.
“Apakah sebaiknya jauhkan yang kiri dari yang kanan, kasihan jika engkau sampai merasa terhimpit,” kataku.
“Tidak, aku hanya memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. ” (Al-Qiyamah: 29-30)
Hanna, doakanlah aku, karena mungkin sebentar lagi aku akan mengawali hari akhiratku. Perjalananku begitu jauh, tetapi bekal yang kubawa teramat sedikit.”
Mendengar perkataan saudariku, air mataku tumpah tak terasa. Aku menangis, tak peduli sedang berada di mana. Aku terus menangis. Ayah kelihatannya lebih mengkhawatirkanku daripada Naura. Memang, mereka tidak terbiasa melihatku menangis dan menyendiri di kamar seiring terbenamnya mentari di hari berkabut itu. Rumahku hening mencekam.
Anak perempuan bibiku masuk. Peristiwa begitu cepat terjadi. Orang-orang pun berdatangan. Suara menggaduh. Satu yang kutahu; Naura telah tiada. Naura meninggal dunia. Aku hampir tidak bisa membedakan siapa saja yang datang, juga tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Ya Allah, di manakah daku? Apa yang tengah terjadi? Aku tak berdaya, bahkan untuk menangis sekalipun. Beberapa saat kemudian, mereka memberitahuku bahwa ayah membawaku untuk mengucapkan perpisahan pada saudariku. Selain itu, mereka bilang aku menciumnya. Tidak ada yang kuingat selain satu hal, yaitu ketika aku melihatnya pucat pasi di ranjang kematian sempat membacakan ayat Al-Qur’an, ‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).’ Aku mulai menyadari sebuah hakikat;
‘Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihaIau.’ (AI-Qiyamah: 29-30)
Tanpa sadar, malam itu aku menengok mushalla saudariku. Saat itu aku teringat dengan siapa aku berbagi kasih sayang ibu. Aku terkenang pada orang yang turut menanggung kesedihanku. Aku teringat pada sosok yang turut menghalau dukaku. Selain itu, aku juga teringat pada orang yang memohonkan hidayah Tuhan, dan yang menumpahkan air mata sepanjang malam saat meng ajakku bicara tentang kematian dan hari penghitungan amal..
Ini malam pertama ia berada dalam kuburnya. Ya Al lah, kasihanilah ia, dan sinarilah kuburnya. Ini mushafnya, ini sajadahnya, ini … dan ini … Bahkan, ini gaun bermotif bunga yang pernah diceritakan kepadaku, ‘Gaun ini akan kusimpan buat hari pernikahanku.’ Jika teringat pada semua itu, aku tak kuasa membendung air mata pe nyesalan pada hari-hariku yang sia-sia. Aku terus menangis dan berdoa semoga Allah mengasihiku, menerima taubatku, dan memaafkanku. Aku juga berdoa semoga Allah meneguhkannya di kuburnya seperti yang sering ia mohon pada-Nya.
Entah mengapa, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana jika yang meninggal dunia itu aku? Ke mana arah perjalananku? Karena rasa takut yang menyelimutiku, aku sengaja tidak mencari jawaban. Aku hanya menangis sedu sedan. Allahu Akbar!
Suara adzan subuh berkumandang, kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku merasa damai dan tentram sembari mengulangi bacaan adzan. Kulipat bajuku, lalu berdiri melaksanakan shalat subuh. Aku shalat seperti or ang yang akan segera mati, sebagaimana shalat yang dilakukan saudariku sebelumnya. Jika pagi aku tidak menunggu petang, dan jika petang aku tidak menunggu pagi. [Az-Zaman al-Qadim, hal.4]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar